pendakwah aceh yang gantenk yg hilang tampak jejak;
baca beu habeh,mangat muho hai wareh kisah nyata
KISAH AHMAD DEWI,ulama/dai aceh
TEUNGKU AHMAD
DEWI; DA'I KRITIS
KORBAN ORBA
--------------------
Teungku Haji Fakir Hakir Ahmad Dewi
seorang tokoh ulama pendakwah, lahir 19
Januari 1951 di Dusun Bantayan, Gampong
Keude, Kecamatan Darul Aman, Idi Cut, Aceh
Timur. Ayahnya Teungku Muhammad Husen
berasal dari Desa Meunasah Kumbang, Kec.
Syamtalira Aron Aceh Utara, anak Teungku
Hasballah yang digelar Teungku Chik di
Meunasah Kumbang, ulama besar dari
Samudera Pase.
Teungku Hasballah Meunasah
Kumbang menguasai Ilmu Tafsir, Bayan, Fiqh,
Siyasah, dan Ilmu Mantiq. Tokoh berbadan
atletis ini terkenal sebagai ulama moderat yang
menguasai dengan baik bahasa Aceh, Perancis
dan Inggris. Ketajaman pikirannya dikagumi
oleh kawan maupun lawan. Pada saat perang
kolonial Belanda di Aceh berkecamuk, beliau ikut
bergabung dengan mujahidin lainnnya
berperang di Samudera Pase. Selain itu beliau
sangat ahli dalam Ilmu Faraid, ahli dalam hal
dialog dan pidato, bakat ini sepenuhnya turun
kepada Tgk. Ahmad Dewi.
Ibunya bernama Dewi kelahiran
Peudagee (Serdang Bedagai), Sumatera Utara,
nama inilah yang kemudian menjadi nama
belakang Teungku Ahmad Dewi. Nama lahir
beliau adalah Ahmadullah, namun karena
wajahnya yang mirip dengan ibunya, maka
orang-orang mengaitkan dengan nama ibunya,
disebutlah Ahmad Dewi. Akhirnya beliau lebih
dikenal dengan nama Ahmad Dewi ketimbang
Ahmadullah nama aslinya.
Pendidikan
Sekolah formal yang sempat
ditempuh oleh Ahmad Dewi muda adalah
Madrasah Ibtidaiyah Idi Cut. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya di Dayah, yaitu
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Matang
Geutoe, Idi Cut pada tahun 1964. Menurut
sebuah informasi, Tgk. Ibrahim Bardan (Abu
Panton) juga pernah belajar di dayah yang
dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Thaib ini. Di
dayah ini Ahmad Dewi diasuh di bawah
bimbingan Abu Saleh (Pakcik Tgk. Ahmad
Dewi/salah seorang anak Abu Meunasah
Kumbang) yang juga menjadi guru di Dayah
MTI. Abu Saleh dikenal sebagai kader militan
yang kerap berurusan dengan aparat keamanan
era Suharto.
Ahmad Dewi juga sempat menuntut
ilmu di sebuah pesantren yang dipimpin oleh
Tgk. H. Sofyan di Matang Kuli, sekitar tahun
1968 sampai 1970, setelah itu ia kembali ke Idi
Cut. Saat itu dayah MTI tidak aktif lagi
sepeninggal Tgk. Muhammad Thaib (w. 1968),
dan kiblat pendidikan di Idi Cut telah beralih ke
Dayah Darussa’dah Idi Cut di bawah pimpinan
Tgk. H. Abdul Wahab. Pada masa ini Tgk.
Ahmad Dewi juga sempat belajar pada Tgk. H.
Abdul Wahab Idi Cut sambil bekerja mencari
nafkah.
Faktor kesulitan ekonomi menuntut
Ahmad Dewi untuk bekerja sambil belajar
diusianya yang masih belia (sekitar 19 tahun). Ia
memanfaatkan potensi diri dan bakat oratornya
dengan bekerja sebagai pedagang obat kaki
lima. Bagi Ahmad Dewi, berdagang obat juga
media berdakwah, maka ia berkeliling Aceh
sambil berdagang obat dengan tetap
menjadikan dayah sebagai tempat domisilinya.
Oleh karena itu, ia tetap menjadi santri dayah Idi
Cut (Darussa’dah) dan Matang Kuli sebab ia
bolak-balik melakukan perjalanan antara dua
daerah ini.
Suatu kali dalam tahun 1973,
pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga
berkunjung ke Matang Kuli. Kunjungan ini
memang kerap dilakukan Tgk. H. Abdul ‘Aziz
(biasa disapa Abon Samalanga) karena Tgk. H.
Sofyan (pimpinan dayah Matang Kuli)
merupakan salah seorang murid Abon
Samalanga. Keberadaan Teungku Ahmad Dewi
muda menarik perhatian Abon setelah beliau
tahu bahwa Ahmad Dewi adalah cucu Abu
Meunasah Kumbang. Sejak saat itu Teungku
Ahmad Dewi pun mengaji di Samalanga karena
diajak oleh Abon untuk belajar di Dayah MUDI
Mesjid Raya Samalanga.
Baru setahun belajar di Samalanga
Teugku Ahmad Dewi telah menemukan jati
dirinya dan, menentukan arah perjuangannya.
Bakat orasi dan kapasitas keilmuannya semakin
terasah di bawah bimbingan Abon Samalanga.
Masa-masa belajar di Samalanga merupakan
masa pembentukan karakter dirinya sebagai da’i
kritis. Sambil belajar, Teungku Ahmad Dewi
kerap diundang memberi pengajian dan
ceramah di meunasah-meunasah Kecamatan
Samalanga dan sekitarnya. Di sinilah popularitas
Teungku Ahmad Dewi sebagai da’i bermula.
Masa berkarya
Perawakan yang tinggi tegap, wajah
yang tampan dan bakat orasinya menarik
perhatian masyarakat. Ditambah dengan gaya
penampilannya yang menarik, kadang terkesan
nyentrik, maka tidak heran jika dalam tempo
singkat ia telah dikenal sebagai da’i yang
memukau. Di sisi lain, darah ulama yang
mengalir di tubuhnya dan latar belakang
kependidikan di dayah terbesar Aceh (MUDI
Mesjid Raya) memberinya legitimasi dan garansi
keilmuan sebagai ulama yang patut menjadi
rujukan bagi masyarakat. Ia diundang
berdakwah ke seluruh daerah di Aceh, dan
dakwahnya selalu dipadati pengunjung yang
massanya berjumlah puluhan ribu. Ia
menjelma menjadi publik figur yang
ceramahnya ditunggu-tunggu masyarakat.
Ketokohan sosok Teungku Ahmad
Dewi menarik perhatian berbagai pihak dengan
berbagai kepentingan. Sebuah informasi
mengabarkan bahwa Teungku Hasan Tiro juga
sempat mengadakan pertemuan khusus
dengan Teungku Ahmad Dewi, di Jeunieb
dalam masa-masa gerilyanya di Aceh. Ekses
pertemuan ini, pada tahun 1977, Teungku
Ahmad Dewi pun ditangkap aparat keamanan
dalam penggerebekan di Dayah MUDI, Mesjid
Raya, Samalanga karena diduga terlibat Aceh
Merdeka (AM). Teungku Ahmad Dewi ditahan di
Markas Laksus Drien Meuduroe, Geulumpang
Payong, Kabupaten Pidie. Selama dalam
tahanan, masyarakat tiada henti berkunjung
menjenguk beliau sampai akhirnya dipindahkan
ke Banda Aceh (ditahan di daerah Lampineung).
Pada masa ini beliau sempat diisukan telah
meninggal dunia, masyarakat yang menjenguk
tidak bisa bertemu beliau sehingga masyarakat
di kampung-kampung melaksanakan shalat
jenazah ghaib untuk Teungku Ahmad Dewi.
Setelah tiga bulan ditahan di Banda
Aceh, datanglah seorang ulama Aceh Besar
(Abu Usman Fauzi) yang kala itu aktif dalam
partai politik Golkar (Golongan Karya). Setelah
pertemuan itu, Abu Usman Fauzi membuat
pendekatan dengan pihak aparat keamanan agar
status tahanan Teungku Ahmad Dewi
diringankan. Walhasil, Tgk. Ahmad Dewi
menjadi tahanan rumah yang ditempatkan di
dayah Abu Usman Fauzi di Desa Lueng Ie.
Setelah beberapa lama di Lueng Ie barulah pihak
keluarga tahu bahwa Teungku Ahmad Dewi
masih hidup, lalu menjenguknya ke Desa Lueng
Ie. Pihak keluarga memohon agar penahanan
Teungku Ahmad Dewi dipindahkan ke Idi Cut.
Kesepakatan berhasil dicapai, pemindahan
Teungku Ahmad Dewi disetujui dengan
jaminan keluarga, dan status wajib lapor ke
polsek setempat seminggu sekali.
Teungku Ahmad Dewi pulang ke
kampung halamannya pada pertengahan tahun
1979, tapi rumah keluarganya telah tiada karena
terbakar, tidak ada keterangan yang jelas
mengenai sebabmusabab kebakaran ini. Maka
Teungku Ahmad Dewi pun mendirikan sebuah
gubuk di pertapakan gosong rumah orang
tuanya. Gubuk itu sebenarnya peralihan fungsi
dari tempat penyimpanan padi (kröng pade)
milik orang tuanya. Di gubuk itu Teungku
Ahmad Dewi menerima satu dua santri yang
datang berguru padanya. Karena rumah itu
merupakan tempat tahanan baginya, maka ia
menamakan rumah itu sebagai BTM (Balai
Tahanan Militer). Ketika santrinya bertambah, ia
berpikir untuk mendirikan dayah, dan nama
BTM pun ditabalkan sebagai nama dayahnya,
namun BTM kali ini berarti Bale Teumpat
Meununtöt (Balai Tempat Menuntut ilmu).
Belakangan nama BTM menjadi trade
mark Teungku Ahmad Dewi dalam setiap
dakwahnya. Singkatan BTM muncul sebagai
wujud inspirasinya yang tidak pernah kering,
kadang konyol dan menyentil. Untuk murid-
muridnya, BTM diberi kepanjangan Balai
Tempat Menuntut ilmu, namun saat
berhadapan dengan tokoh-tokoh parpol ‘plat
kuning’ BTM diberi kepanjangan Beringin Tetap
Menang.
Popularitas Teungku Ahmad Dewi
sebagai da’i merupakan daya tarik tersendiri
sehingga murid-muridnya bertambah banyak,
terutama dari kalangan pemuda yang telah
tersadarkan oleh dakwah beliau. Kehadiran para
pemuda yang umumnya memendam jiwa
militan ini menginspirasi Teungku Ahmad Dewi
untuk mengorganisir mereka dalam satu
barisan anti maksiat. Maka dibentuklah satu
wadah yang diberi nama KDA (Kesatuan
Dafa’sail Aceh), suatu organisasi yang bertujuan
untuk melaksanakan dakwah amar makruf nahi
munkar. Di sini nama BTM menemukan
kepanjangan lain, karena dalam KDA ini ada satu
pasukan khusus yang dinamakan Barisan
Teuntra Mirah (BTM). Barisan ini memakai
seragam merah, dibekali ilmu bela diri, dan
dilengkapi senjata pedang. Barisan Teuntra
Mirah bertugas menertibkan dan mencegah
maksiat di sepanjang garis pantai Idi Cut yang
merupakan objek wisata masyarakat. Akibat
dari aksi Barisan Teuntra Mirah, Teungku
Ahmad Dewi seringkali harus berhadapan
dengan aparat keamanan. Menurut keterangan
seorang mantan Barisan Teuntra Mirah,
masalah-masalah ini berhasil diselesaikan oleh
Teungku Ahmad Dewi dengan jalan dialog.
Pada tahun 1980, Teungku Ahmad
Dewi kembali ditangkap setelah berdakwah di
Idi Rayeuk, lokasinya di depan pendopo
sekarang, menghadap ke masjid jamik. Dalam
dakwah yang disesaki puluhan ribu pengunjung
ini, ia dituduh subversive (merongrong ideologi
Pancasila), dan ditahan di Langsa selama dua
tahun tanpa putusan pengadilan. Meskipun di
penjara Tgk. Ahmad Dewi tetap berdakwah,
hanya saja sasaran dakwahnya kali ini menjadi
lebih spesifik, yaitu para penghuni rutan saja. Ia
menggelar pengajian untuk mengajak
narapidana bertobat kembali ke jalan Allah. Di
sisi lain, penahanan itu justru mendongkrak
popularitasnya, bahkan menjadi pemberitaan
media nasional. Maka tidak heran jika setiap
persidangan beliau dipenuhi ratusan ribu massa
yang ingin meyaksikan jalannya persidangan
sang dai. Bersamanya juga turut ditahan
Teungku H. Azhar BTM (wakil pimpinan dayah
BTM). Setelah 1,8 tahun ditahan, Teungku Azhar
disidang, lalu dibebaskan. Sementara Teungku
Ahmad Dewi baru di bebaskan setelah lima
bulan Tgk. Azhar menghirup udara kebebasan.
Teungku Ahmad Dewi dijemput oleh
masyarakat Sungai Pauh, Langsa, dipeusijuek
dan diantarkan ke dayahnya, BTM Idi Cut.
Awal tahun 1983, beliau memimpin
kembali dayah BTM. Dayah yang sempat sepi
semasa beliau ditahan, dengan drastis
pelajarnya membludak sekembali beliau. Dalam
tahun 1984, santri di dayah ini telah mencapai
400 orang santri putra putri.
Pada tahun 1985 ia berdakwah tujuh
hari tujuh malam dalam rangka deklarasi
pemerintahan syariat Islam di Aceh. Dakwah ini
diselenggarakan dengan mengundang para
ulama dari berbagai penjuru Aceh untuk
mencari solusi petegakan syariat Islam di Aceh.
Pada tahun 1986 beliau menikah
dengan Cut Khairiyah binti Tgk. H. Muhammad
Thaib, Paloh Meria Lhokseumawe. Beliau terus
menetap di dayah BTM bersama keluarganya,
dan dikaruniai putera pertama yang diberi nama
Fatahillah (1987), anak kedua Fatimah Dewi
(1989).
Meninggalnya Tgk. Ahmad Dewi
Pada hari Sabtu, 1 Maret 1991 pukul
09.00 wib, Tgk. Ahmad Dewi menerima surat
dari abangnya Tgk. Muhsinullah. Ia diminta
segera menjenguk abangnya yang sedang
ditahan pasukan TNI di Tank Batre, Desa Alue Ie
Mirah. Tgk. Ahmad Dewi berangkat dengan
mengendarai mobil Chevrolet bersama supir
bernama Asnawi. Pada waktu itu Aceh
berstatus siaga, Operasi Jaring Merah
dilancarkan di Aceh. Sejak kepergian hari itu,
Teungku Ahmad Dewi tidak pernah muncul lagi
di atas podium meyuarakan tegaknya syariat
Islam di Aceh.
Walaupun Teungku Ahmad Dewi
telah tiada, pengikut-pengikut setianya selalu
memperjuangkan agar di Aceh diberlakukan
syariat Islam. Akhirnya pemerintah
mengumumkan pemberlakuan syariat Islam di
bumi Serambi Mekkah ini. Namun Teungku
Ahmad Dewi sebagai tokoh pelopor
pemberlakuan syariat Islam di Aceh, sampai
hari ini tidak diketahui di mana kuburannya.
Tgk Ahmad Dewi meninggalkan
seorang isteri dan tiga orang anak, Fatahillah,
Fatimah Dewi, dan Abdul Aziz yang kala
peristiwa penculikan itu masih tiga bulan dalam
kandungan. Nama Abdul ‘Aziz merujuk kepada
nama guru beliau di Samalanga (Abon ‘Abdul
‘Aziz Samalanga). Tgk. Ahmad Dewi telah
mewasiatkan nama ini sebelum kepergiannya.
Beliau berpesan kepada isterinya, jika anaknya
laki-laki agar diberi nama ‘Abdul ‘Aziz.
Semoga arwah beliau selalu dalam
rahmat Allah SWT. Amien Ya Rabbal Alamin…